Tangerang, CNN Indonesia —
Di pinggir sungai Cisadane, Kota Tangerang, Banten, terdapat sebuah masjid yang dikenal warga sebagai yang tertua berdiri hingga saat ini di Kota Benteng tersebut.
Rumah ibadah itu bernama Masjid Jami Kalipasir yang berada di pinggir Sungai Cisadane, Kelurahan Sukasari, Kota Tangerang. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari Stasiun Tangerang atau sekitar 2 kilometer dari Kantor Wali Kota Tangerang.
Masjid ini berlokasi tepat berseberangan dengan Sungai Cisadane yang menjadi jalur perdagangan antara Timur Tengah dan Asia pada abad ke-16. Masjid ini juga bersebelahan dengan Klenteng Boen Tek Bio yang sudah berdiri sejak zaman Belanda.
Sejak berdiri diperkirakan pada 1576 lalu, maka kini usia masjid tersebut telah mencapai 446 tahun berjalan. Berdasarkan penuturan pengurus masjid, cikal bakal rumah ibadah itu sebetulnya sudah ada sejak 1412 dari seorang keturunan Kerajaan Galuh Kawali yang menyiarkan Islam di sana, Ki Tenggerjati.
Buku terbitan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud pada 2018 silam, Yang Silam Jadi Suluh Jadi Suar: Masjid Warisan Budaya di Jawa dan Madura, menuliskan Masjid Jami Kalipasir telah berulang kali direnovasi hingga menyisakan tiang atau saka guru yang masih asli.
“Selebihnya tidak lagi sejaman dengan keempat tiang kayu tersebut. Berulang kalinya renovasi pun mengaburkan usia pasti dari masjid bersejarah ini, namun warisan karuhun berupa tradisi keagamaan yang masih berlangsung sampai saat ini, menjadi penanda bahwa memang ini adalah masjid kuno,” demikian dikutip dari sana.
Tradisi di Masjid Jami Kalipasir
Salah satu tradisi yang paling menarik adalah arak-arakan perahu yang diadakan setiap bulan Maulid. Perahu-perahu kecil yang dihias dengan berbagai macam buah-buahan dan bunga-bunga ini dilepas di sungai Cisadane yang mengalir di seberang masjid kampung Kalipasir.
Menurut Sekretaris DKM Masjid bernama Rudy Rahendra, tradisi ini sudah berlangsung sejak lama dan masih dipertahankan hingga sekarang. Bahkan, tahun 2023 menjadi tahun kebanggaan bagi warga Kalipasir karena arak-arakan perahu tersebut sudah diagendakan pemerintah daerah.
“Arak-arakan perahu tersebut kita memang di dalam perahunya diisi buah-buahan segala macem bukan untuk rebutan segala macem. Kami cuman menunjukkan kepada kampung lain bahwa ini loh ibaratnya kesuburan kampung Kalipasir. Sehingga tetangga kampung lain melihat dan merasa tergugah untuk datang, sehingga saat maulid itu didatangi kampung lain. Kami tidak mengundang pun mereka datang sendiri,” ujar Rudy kepada CNNIndonesia.com.
Suasana di dalam Masjid Jami Kalipasir, Tangerang. Terlihat tiang-tiang yang dikenal pula dengan sebutan saka guru. (CNN Indonesia/Cesar Sanabil Pasya)
|
Selain arak-arakan perahu, ada juga tradisi yang bernama munggah bersama yang dilakukan menjelang Ramadan. Tradisi ini adalah tawasulan, tahlilan, dan berdoa untuk orang tua yang sudah meninggal. Rudy mengatakan, tradisi ini awalnya dilakukan untuk membantu warga yang kurang mampu yang tidak punya dana untuk mengadakan acara tersebut.
“Dalam rangka menghadapi bulan Ramadan kami juga ada tradisi yang bernama munggah bersama. Jadi kita semua dari masyarakat disini tawasulan, tahlilan, dan berdoa untuk orang tua kita. Awal-awalnya sih memang kita dari pengurus, ketika kita melihat warga yang kurang mampu yang tidak punya dana. Sehingga kita disatukan bersama, jadi yang tidak punya juga bisa merasakan kebahagiaan,” tutur Rudy.
Warisan budaya lainnya, Rudy mengenang bahwa dulu saat sungai Cisadane masih bersih, ada tradisi keramas bersama yang dilakukan sebelum Ramadan. Tradisi ini adalah mandi bersama di sungai dengan air sungai yang masih bening.
Namun, sekarang tradisi ini sudah tidak dilakukan lagi karena kondisi sungai yang sudah kotor. Dia mengatakan tradisi ini terakhir dilakukan pada 1999 silam.
“Tradisi kami saat menghadapi bulan Ramadan itu biasanya bersih-bersih dan merapikan masjid. Selain itu juga ada pawai obor. Kalau dulu, saat sungai Cisadane yang ada di seberang masjid masih bersih itu biasanya ada tradisi keramas bersama. Sekarang sudah tidak lagi, tapi tradisi ini diadopsi oleh warga Kampung Bekelir,” kenang Rudy.
Foto di masa lampau ketika berlangsung tradisi arak-arakan hasil bumi dari Masjid Jami Kalipasir. (CNN Indonesia/Cesar Sanabil Pasya)
|
Saat Idul Fitri, warga Kalipasir juga memiliki tradisi yang disebut sasapunan. Tradisi ini adalah berkeliling kampung salam-salam saling minta maaf semua warga kampung Kalipasir. Dari rumah ke rumah harus didatangi tanpa terkecuali. Rudy mengatakan, tradisi ini bertujuan untuk menjaga silaturahmi dan persaudaraan antara sesama warga.
“Kami juga selalu mengadakan salat ied. Tradisi lain yang kami lakukan saat idul fitri adalah melakukan sasapunan, yaitu berkeliling kampung salam salam saling minta maaf semua warga kampung kali pasir. Dari rumah ke rumah harus didatangi tanpa terkecuali,” jelas Rudy.
Tradisi lain yang dulu dilakukan warga Kalipasir adalah menukar masakan sebelum takbiran.
“Misalnya, di satu rumah ada ketupat, di satu rumah ada opor, ya saling bertukar. Namun, saat ini tidak semua warga melakukan tradisi ini lagi,” kata Rudy
Kubah unik Masjid Jami Kalipasir dengan mustoko di puncaknya. Ini adalah masjid yang tertua di Tangerang, Rabu (6/3). (CNN Indonesia/Cesar Sanabil Pasya)
|
Asal usul Kalipasir
Mengutip dari buku Yang Silam Jadi Suluh Jadi Suar: Masjid Warisan Budaya di Jawa dan Madura (2018), beberapa tahun setelah Ki Tengger Djati membuka hutan (babat alas) dan membangun langgar di pinggir sungai Cisadane itu pada 1416, datanglah seorang ulama dari Persia yakni Sayyid Hasan Ali Husaini atau Syekh Abdul Jalil. Pada 1455 dia siang singgah di padukuhan Ki Tengger Djati dalam perjalanan melanjutkan amanah guru untuk meneruskan dakwah.
“Sesampainya di bumi Tangerang, Syekh Abdul Jalil memadukan (menyampur) pasir yang beliau bawa dari Karbala dengan tanah dimana beliau bersyiar agar ajaran Islam terlarut dalam kehidupan dan kebudayaan yang ada di tempat tersebut. Syekh Abdul Jalil kemudian memperbesar langgar Ki Tengger Djati. Kisah inilah yang melatarbelakangi munculnya toponim Tanah Pasir, setelah sebelumnya daerah ini disebut sebagai Padukuhan Ki Tengger Djati. Di masa sekarang, daerah ini dikenal dengan sebutan Kalipasir,” demikian dikutip dari buku tersebut.
Masjid Jami Kalipasir adalah masjid tertua di Tangerang, Banten, difoto Rabu (6/3/2024). (CNNIndonesia/Cesar Sanabil)
|
Pada 1671, ketika Kalipasir menjadi wilayah kekuasaan Kesultanana Banten, Masjid Jami Kalipasir diperluas Tumenggung Kuridilaga. Selain itu Raja Banten kala itu Sultan Ageng Tirtayasa memberi hadiah sebagai tanda kekeluargaan berupa ‘baluarti’ atau mustoko masjid yang kemudian dipasang di puncak kubah masjid. Mustoko itu pun masih bertahan sampai sekarang di puncak kubah masjid yang unik itu.
Renovasi demi renovasi dilakukan selama waktu ke waktu, sehingga sisa bangunan atau kelengkapan asli Masjid Jami Kalipasir di awal pendiriannya tinggal sedikit. Beberapa yang masih asli adalah empat tiang utama (soko guru) yang tampak diperkuat dengan umpak dan ‘diselongsongi’ pipa besi sebagai penguat.
Di samping masjid terdapat beberapa makam tua para Tumenggung yang pernah menetap di Kalipasir.
(csp/kid)